Cerita mistis penjaga villa di kawasan puncak Bogor
Nyaris setiap pekerjaan memiliki sisi misteri, berbalut seram menguji hati dan nyali. Termasuk penjaga villa, bagaimanapun keadaannya mereka harus tetap terus menjalankan tugas. Rahmat, penjaga villa di puncak Bogor, akan menceritakan kisah seramnya di sini, Selesai sudah prosesi penguburan Pak Hendra, satu persatu pelayat meninggalkan pusara. Areal pemakaman yang tadinya ramai, berangsur sepi. Begitu juga dengan aku, akhirnya melangkah pergi ketika hanya tinggal beberapa orang saja.
Selesai acara pemakaman selalu begini, hawanya sedih, rasa kehilangan mendominasi. Aku terbilang sangat jarang menghadiri prosesi pemakaman, kalau bukan keluarga atau kerabat dekat aku gak pernah menghadirinya. Tapi ini Pak Hendra, bukan keluarga, bukan kerabat dekat juga, tapi aku harus menghadiri pemakamannya. Hampir selama tiga bulan terakhir, tiga bulan terakhir hidupnya, Pak Hendra bisa dibilang adalah mentorku. Mentor? lya Mentor.
Aku Rahmat, usiaku masih 22 tahun ketika semua peristiwa di Villa Puncak ini terjadi pada tahun 2008. Lahir dan besar di Cibinong Bogor, setamat SMU aku gak melanjutkan sekolah lagi, lebih memilih untuk bekerja walaupun masih serabutan.
Singkatnya, pada tahun 2008 aku menganggur cukup lama, karena memang belum ada pekerjaan yang membutuhkan tenagaku. Di tengah kejenuhan melanda, datanglah kabar baik. Salah satu tetangga, menawarkanku untuk bekerja sebagai penjaga Villa di kawasan Puncak Bogor. "Jadi, Villa ini punya bos saya Mat. Dia orang kaya banget, rumah dan villanya di mana-mana, banyaklah pokoknya. Nah, salah satunya ya di puncak itu, di daerah Cibogo. Villa ini disewakan untuk umum juga, sengaja begitu supaya gak terlalu kosong karena sangat jarang dikunjungi." Begitu penjelasan awal Pak Iwan tetanggaku. "Sebenarnya villa itu sudah ada yang jaga, Bapak dan Ibu yang sudah berumur, suami istri. Tapi sebulan yang lalu istrinya meninggal, jadi aja tinggal si bapak yang menunggu dan merawat villa sendirian." Lanjut Pak Iwan. "Bapak penunggu villa ini sudah tua dan sakit-sakitan, jadi sepertinya kamu akan dipersiapkan untuk menggantikannya kalau dia pensiun nanti." Pak Iwan masih melanjutkan.
Kata Pak lwan juga, pemilik villa sangatlah baik orangnya, dia selalu mengutamakan kesejahteraan orang- orang yang bekerja dengannya. "Gimana? Kamu mau gak? Kan gak terlalu jauh juga dari rumah, jadi bisa pulang kapan aja. Kalo mau biar saya bilang ke Pak Daniel. Mau?" Pak Daniel adalah bos Pak Iwan. Aku yang sudah terlalu lama mengganggur, gak pikir panjang lagi, langsung mengangguk setuju. Beberapa hari setelah itu Pak Iwan datang mengabarkan lagi, dia bilang bosnya setuju untuk mempekerjakanku atas rekomendasi baik darinya. Ya sudah, aku semakin senang dengan pekerjaan ini setelah mendengar upah yang akan aku terima setiap bulannya, nominalnya cukup besar buatku, ditambah dengan tunjangan makan dan tempat tinggal selama bekerja nantinya. Aku ingat, waktu itu bulan Juni tahun 2008, aku mulai bekerja sebagai penjaga villa di Cibogo kawasan puncak Bogor.
Jalan masuk menuju villa ini gak susah. Kalau dari arah bogor, kira-kira 10 menit dari gadog ada pom bensin di sebelah kiri, di situ ada belokan ke kanan, dari belokan itu sekitar 30 menit kemudian sudah sampai. Ketika pertama kalinya menginjakkan kaki di villa, aku langsung melihat sekitar, merekam setiap sudutnya di memori kepala. Gerbang depan tinggi dan besar, memisahkan jalan umum dengan pekarangan bagian depan villa. Halamannya sangat luas, hijau rerumputan mendominasi pemandangan. Beberapa pohon besar tumbuh rindang di sekeliling bangunan besar yang berdiri di tengah-tengah lahan luas ini. Aku meyakini kalau bangunan besar itu adalah villa-nya.
Villa besar berlantai dua, bentuk bangunanya model lama, sepertinya usianya juga sudah tua, tapi masih terlihat sangat terawat dan bersih. Di sebelah kanan ada bangunan seperti bungalow yang bentuknya memanjang, beratap tanpa dinding sekeliling, sepertinya diperuntukkan untuk kegiatan luar ruang. Ketika sedang asik menjelajah pemandangan, tiba-tiba pintu besar bangunan utama terbuka, lalu muncul seorang bapak dari dalam. "Rahmat ya? Sini masuk." Ucap Bapak itu sambil tersenyum. "lya Pak," Aku menjawab sumringah. Seorang bapak betubuh tinggi kurus, berkaca mata, nyaris seluruh rambutnya tertutup uban, mengenakan kemeja lengan pendek, celana panjang hitam. Setelah itu kami berkenalan, bapak yang sangat ramah ini bernama Pak Hendra, umurnya 69 tahun.
Aku diajaknya berkeliling, dengan sabar beliau menjelaskan semua tentang villa ini dan segala isinya. Bangunan utama, villa dua lantai, di lantai dasar ada ruang tengah besar, tiga kamar tidur, dua kamar mandi, ada dapur di belakang. Lantai dua, ada tiga kamar tidur juga, dua kamar mandi, ruang santai keluarga, dan teras besar memanjang dari kiri ke kanan, teras ini menghadap pemandangan pegunungan puncak yang sangat indah. Secara keseluruhan, benar tebakanku di awal tadi, villa ini sangat bagus dan besar. Yang paling mencolok, kebersihan villa dan lingkungannya membuatku terkesan, dari sini menandakan kalau Pak Hendra orang yang sangat rajin. Di belakang Villa, ada bangunan berukuran jauh lebih kecil dari bangunan utama, tapi gak terlalu kecil juga. "Nah, di rumah itu nanti kamu tinggal. Kamar kamu sudah saya siapkan, kamu tinggal masuk aja, hehe." Begitu kata Pak Hendra sambil menunjuk ke rumah itu. Lalu kami melangkah ke sana dan memasukinya. Rumah yang ukuran bangunannya nyaris sama dengan rumah orang tuaku di Cibinong.
Next--> 2 / 3
Selesai acara pemakaman selalu begini, hawanya sedih, rasa kehilangan mendominasi. Aku terbilang sangat jarang menghadiri prosesi pemakaman, kalau bukan keluarga atau kerabat dekat aku gak pernah menghadirinya. Tapi ini Pak Hendra, bukan keluarga, bukan kerabat dekat juga, tapi aku harus menghadiri pemakamannya. Hampir selama tiga bulan terakhir, tiga bulan terakhir hidupnya, Pak Hendra bisa dibilang adalah mentorku. Mentor? lya Mentor.
Aku Rahmat, usiaku masih 22 tahun ketika semua peristiwa di Villa Puncak ini terjadi pada tahun 2008. Lahir dan besar di Cibinong Bogor, setamat SMU aku gak melanjutkan sekolah lagi, lebih memilih untuk bekerja walaupun masih serabutan.
Singkatnya, pada tahun 2008 aku menganggur cukup lama, karena memang belum ada pekerjaan yang membutuhkan tenagaku. Di tengah kejenuhan melanda, datanglah kabar baik. Salah satu tetangga, menawarkanku untuk bekerja sebagai penjaga Villa di kawasan Puncak Bogor. "Jadi, Villa ini punya bos saya Mat. Dia orang kaya banget, rumah dan villanya di mana-mana, banyaklah pokoknya. Nah, salah satunya ya di puncak itu, di daerah Cibogo. Villa ini disewakan untuk umum juga, sengaja begitu supaya gak terlalu kosong karena sangat jarang dikunjungi." Begitu penjelasan awal Pak Iwan tetanggaku. "Sebenarnya villa itu sudah ada yang jaga, Bapak dan Ibu yang sudah berumur, suami istri. Tapi sebulan yang lalu istrinya meninggal, jadi aja tinggal si bapak yang menunggu dan merawat villa sendirian." Lanjut Pak Iwan. "Bapak penunggu villa ini sudah tua dan sakit-sakitan, jadi sepertinya kamu akan dipersiapkan untuk menggantikannya kalau dia pensiun nanti." Pak Iwan masih melanjutkan.
Kata Pak lwan juga, pemilik villa sangatlah baik orangnya, dia selalu mengutamakan kesejahteraan orang- orang yang bekerja dengannya. "Gimana? Kamu mau gak? Kan gak terlalu jauh juga dari rumah, jadi bisa pulang kapan aja. Kalo mau biar saya bilang ke Pak Daniel. Mau?" Pak Daniel adalah bos Pak Iwan. Aku yang sudah terlalu lama mengganggur, gak pikir panjang lagi, langsung mengangguk setuju. Beberapa hari setelah itu Pak Iwan datang mengabarkan lagi, dia bilang bosnya setuju untuk mempekerjakanku atas rekomendasi baik darinya. Ya sudah, aku semakin senang dengan pekerjaan ini setelah mendengar upah yang akan aku terima setiap bulannya, nominalnya cukup besar buatku, ditambah dengan tunjangan makan dan tempat tinggal selama bekerja nantinya. Aku ingat, waktu itu bulan Juni tahun 2008, aku mulai bekerja sebagai penjaga villa di Cibogo kawasan puncak Bogor.
Jalan masuk menuju villa ini gak susah. Kalau dari arah bogor, kira-kira 10 menit dari gadog ada pom bensin di sebelah kiri, di situ ada belokan ke kanan, dari belokan itu sekitar 30 menit kemudian sudah sampai. Ketika pertama kalinya menginjakkan kaki di villa, aku langsung melihat sekitar, merekam setiap sudutnya di memori kepala. Gerbang depan tinggi dan besar, memisahkan jalan umum dengan pekarangan bagian depan villa. Halamannya sangat luas, hijau rerumputan mendominasi pemandangan. Beberapa pohon besar tumbuh rindang di sekeliling bangunan besar yang berdiri di tengah-tengah lahan luas ini. Aku meyakini kalau bangunan besar itu adalah villa-nya.
Villa besar berlantai dua, bentuk bangunanya model lama, sepertinya usianya juga sudah tua, tapi masih terlihat sangat terawat dan bersih. Di sebelah kanan ada bangunan seperti bungalow yang bentuknya memanjang, beratap tanpa dinding sekeliling, sepertinya diperuntukkan untuk kegiatan luar ruang. Ketika sedang asik menjelajah pemandangan, tiba-tiba pintu besar bangunan utama terbuka, lalu muncul seorang bapak dari dalam. "Rahmat ya? Sini masuk." Ucap Bapak itu sambil tersenyum. "lya Pak," Aku menjawab sumringah. Seorang bapak betubuh tinggi kurus, berkaca mata, nyaris seluruh rambutnya tertutup uban, mengenakan kemeja lengan pendek, celana panjang hitam. Setelah itu kami berkenalan, bapak yang sangat ramah ini bernama Pak Hendra, umurnya 69 tahun.
Aku diajaknya berkeliling, dengan sabar beliau menjelaskan semua tentang villa ini dan segala isinya. Bangunan utama, villa dua lantai, di lantai dasar ada ruang tengah besar, tiga kamar tidur, dua kamar mandi, ada dapur di belakang. Lantai dua, ada tiga kamar tidur juga, dua kamar mandi, ruang santai keluarga, dan teras besar memanjang dari kiri ke kanan, teras ini menghadap pemandangan pegunungan puncak yang sangat indah. Secara keseluruhan, benar tebakanku di awal tadi, villa ini sangat bagus dan besar. Yang paling mencolok, kebersihan villa dan lingkungannya membuatku terkesan, dari sini menandakan kalau Pak Hendra orang yang sangat rajin. Di belakang Villa, ada bangunan berukuran jauh lebih kecil dari bangunan utama, tapi gak terlalu kecil juga. "Nah, di rumah itu nanti kamu tinggal. Kamar kamu sudah saya siapkan, kamu tinggal masuk aja, hehe." Begitu kata Pak Hendra sambil menunjuk ke rumah itu. Lalu kami melangkah ke sana dan memasukinya. Rumah yang ukuran bangunannya nyaris sama dengan rumah orang tuaku di Cibinong.
Next--> 2 / 3