Lanjutan dari Cerita mistis penjaga villa di kawasan puncak Bogor
Ada ruang tengah, dua kamar, dapur, dan satu kamar mandi. Rumah yang sangat nyaman buatku untuk tinggal. "Kamu beberes aja dulu, saya tunggu di bungalow ya, kita ngobrol lagi di sana, hehe." Ucap Pak Hendra. Aku yang baru hanya membawa sedikit pakaian, jadi gak terlalu lama untuk beberes, setelah itu keluar rumah menuju bungalow, tempat Pak Hendra duduk menunggu. "Jadi, nanti setiap pagi kita membersihkan seluruh tempat ini, luar dalam villa, halaman depan belakang, semuanya." Begitu kata Pak Hend ketika kami lanjut berbincang.
Intinya, tugas kami adalah menjaga villa agar tetap bersih, nyaman dan aman. Kami juga yang akan melayani serta memenuhi semua kebutuhan para tamu penyewa villa, kata Pak Hendra penyewa villa paling banyak dari kalangan keluarga besar dan grup kecil kantor atau perusahaan. Sebisa mungkin kami akan memenuhi semua kebutuhan dan keperluan para tamu penyewa yang menginap dan mengadakan acara di sini. Kurang lebih begitulah tugasku. Setelah selesai menerangkan tugas-tugas dan lainnya, kemudian Pak Hendra mulai bercerita sedikit tentang kehidupan pribadinya.
Sepanjang siang hingga sore kami hanya duduk berbincang, Pak Hendra bercerita sambil terus menghisap rokok, sudah berbatang-batang rokok dia habiskan sejak awal pertemuan kami tadi, sangat kelihatan kalau beliau seorang perokok berat. Sudah hampir 30 tahun lamanya Pak Hendra bekerja di villa ini, sejak orang tua Pak Daniel sang pemilik villa masih hidup. 30 tahun bekerja didampingi oleh istri tercinta, mereka tinggal di rumah kecil di belakang villa itu tadi. Berdua berdampingan menjaga dan merawat villa. Ibu Rina, itulah nama dari almarhumah istri Pak Hendra. "Tapi memang sudah garisNya, istri saya meninggal baru satu bulan yang lalu karena sakit keras yang sudah dia idap bertahun- tahun lamanya.
Begitu kata Pak hendra dengan tatapan kosong, dibarengi dengan hisapan panjang batang rokok di tangan. Raut sedih masih tergambar jelas di garis wajah tua dan lelahnya. Kemudian Pak Hendra mengeluarkan dompet, lalu mengeluarkan selembar foto lusuh. "Ini İstri saya, hehe." Begitu kata Pak Hendra sambil menunjukkan poto itu. Cukup banyak yang beliau ceritakan tentang istrinya, tergambar jelas betapa mereka saling mencintai dan menyayangi, sampai maut memisahkan.
Aku hanya diam dan terus mendengarkan. Hari itu juga aku dapat menebak kalau Pak Hendra kelihatan gak sehat, dia sering batuk- batuk sambil memegang dadanya. "Gak apa-apa, sudah biasa, hehe." Begitu katanya ketika aku bertanya tentang hal itu. Ya sudahlah, aku hanya bisa menyarankan untuk mengurangi rokoknya. *** Singkat kata, mulailah hari-hariku bekerja di villa itu. Rutinitas setiap pagi, Pak Hendra selalu mengetuk pintu kamar membangunku untuk sholat subuh. Setelah beribadah, kami langsung bekerja. Pekerjaan pertama adalah menyapu seluruh halaman, banyak dedaunan kering berjatuhan dari pohon besar yang ada, kemudian membersihkan luar dan dalam villa.
Selalu seperti itu rutinitasnya. Satu minggu.. Dua minggu, Satu bulan. Dua bulan berlalu, gak terasa. Aku sudah merasa nyaman dan betah tinggal dan bekerja di villa ini. Pak Hendra benar- benar orang yang baik, sama sekali gak pernah
marah meskipun beberapa kali aku lalai dalam bekerja.i dengan candaan. Kami semakin akrab, perbincangan sudah sering diselingi dengan candaan. Tapi ya itu, semakin hari aku semakin khawatir dengan kesehatan pak Hendra. Batuknya kelihatan semakin parah, beberapa kali beliau minta ijin untuk istirahat di rumah saja karena badannya lemas. Benar saja, seiring berjalannya waktu, kesehatan Pak Hendra semakin menurun. Hingga akhirnya dia harus dirawat di rumah sakit karena sesak napas.
Akhirnya Tuhan punya kehendak, awal bulan November 2008 Pak Hendra menghembuskan nafas terakhir di rumah sakit. Sepeninggal Pak Hendra, aku sendirian tinggal di villa, aku sendirian menjaga dan merawat villa. Gak bisa dipungkiri kalau aku sangat terpukul dengan meninggalnya Pak Hendra, ditinggal sendiran ketika sudah merasa nyaman bekerja berdampingan dengannya, ketika kami sudah semakin dekat dan akrab. Tapi roda hidup harus terus berputar, aku harus terus berjalan. Pemilik villa bilang, dia akan mencari satu orang pekerja lagi untuk menggantikan posisi Pak Hendra, jadi aku gak akan dibiarkan lama.
orang baru datang, aku terpaksa harus bekerja sendiran, harus tinggal di villa sendirian. Eh bentar, tinggal dan kerja di Villa sendirian? Hmmm, ternyata gak juga. Kenapa begitu? Karena aku sering merasakan kalau almarhum Pak Hendra dan Istrinya masih ada di sini, masih di villa ini. Dalam artian sesungguhnya, aku merasa kalau mereka masih tinggal di sini..
Tok, tok, tok..
"lya Pak," Aku menjawab ketukan di pintu kamar, masih sangat mengantuk karena kurang tidur malam sebelumnya lalu aku menjawab "lya pak ." Mengucek-ngucek mata sebentar, melirik jam dinding, sudah hampir jam lima subuh, memang sudah waktunya bangun dan sholat. Beranjak dari tempat tidur lalu aku berjalan menuju pintu untuk keluar kamar. Setelah pintu kamar sudah terbuka, aku bisa melihat isi ruang tengah, di situ Pak Hendra sedang berdiri melaksanakan sholat subuh. Seperti biasa, dia mengenakan baju koko kesayangannya dan sarung berwarna gelap lengkap dengan kopiah putih di kepala. "Ah pak Hendra sudah mulai duluan ternyata." Begitu
Next-->
Intinya, tugas kami adalah menjaga villa agar tetap bersih, nyaman dan aman. Kami juga yang akan melayani serta memenuhi semua kebutuhan para tamu penyewa villa, kata Pak Hendra penyewa villa paling banyak dari kalangan keluarga besar dan grup kecil kantor atau perusahaan. Sebisa mungkin kami akan memenuhi semua kebutuhan dan keperluan para tamu penyewa yang menginap dan mengadakan acara di sini. Kurang lebih begitulah tugasku. Setelah selesai menerangkan tugas-tugas dan lainnya, kemudian Pak Hendra mulai bercerita sedikit tentang kehidupan pribadinya.
Sepanjang siang hingga sore kami hanya duduk berbincang, Pak Hendra bercerita sambil terus menghisap rokok, sudah berbatang-batang rokok dia habiskan sejak awal pertemuan kami tadi, sangat kelihatan kalau beliau seorang perokok berat. Sudah hampir 30 tahun lamanya Pak Hendra bekerja di villa ini, sejak orang tua Pak Daniel sang pemilik villa masih hidup. 30 tahun bekerja didampingi oleh istri tercinta, mereka tinggal di rumah kecil di belakang villa itu tadi. Berdua berdampingan menjaga dan merawat villa. Ibu Rina, itulah nama dari almarhumah istri Pak Hendra. "Tapi memang sudah garisNya, istri saya meninggal baru satu bulan yang lalu karena sakit keras yang sudah dia idap bertahun- tahun lamanya.
Begitu kata Pak hendra dengan tatapan kosong, dibarengi dengan hisapan panjang batang rokok di tangan. Raut sedih masih tergambar jelas di garis wajah tua dan lelahnya. Kemudian Pak Hendra mengeluarkan dompet, lalu mengeluarkan selembar foto lusuh. "Ini İstri saya, hehe." Begitu kata Pak Hendra sambil menunjukkan poto itu. Cukup banyak yang beliau ceritakan tentang istrinya, tergambar jelas betapa mereka saling mencintai dan menyayangi, sampai maut memisahkan.
Aku hanya diam dan terus mendengarkan. Hari itu juga aku dapat menebak kalau Pak Hendra kelihatan gak sehat, dia sering batuk- batuk sambil memegang dadanya. "Gak apa-apa, sudah biasa, hehe." Begitu katanya ketika aku bertanya tentang hal itu. Ya sudahlah, aku hanya bisa menyarankan untuk mengurangi rokoknya. *** Singkat kata, mulailah hari-hariku bekerja di villa itu. Rutinitas setiap pagi, Pak Hendra selalu mengetuk pintu kamar membangunku untuk sholat subuh. Setelah beribadah, kami langsung bekerja. Pekerjaan pertama adalah menyapu seluruh halaman, banyak dedaunan kering berjatuhan dari pohon besar yang ada, kemudian membersihkan luar dan dalam villa.
Selalu seperti itu rutinitasnya. Satu minggu.. Dua minggu, Satu bulan. Dua bulan berlalu, gak terasa. Aku sudah merasa nyaman dan betah tinggal dan bekerja di villa ini. Pak Hendra benar- benar orang yang baik, sama sekali gak pernah
marah meskipun beberapa kali aku lalai dalam bekerja.i dengan candaan. Kami semakin akrab, perbincangan sudah sering diselingi dengan candaan. Tapi ya itu, semakin hari aku semakin khawatir dengan kesehatan pak Hendra. Batuknya kelihatan semakin parah, beberapa kali beliau minta ijin untuk istirahat di rumah saja karena badannya lemas. Benar saja, seiring berjalannya waktu, kesehatan Pak Hendra semakin menurun. Hingga akhirnya dia harus dirawat di rumah sakit karena sesak napas.
Akhirnya Tuhan punya kehendak, awal bulan November 2008 Pak Hendra menghembuskan nafas terakhir di rumah sakit. Sepeninggal Pak Hendra, aku sendirian tinggal di villa, aku sendirian menjaga dan merawat villa. Gak bisa dipungkiri kalau aku sangat terpukul dengan meninggalnya Pak Hendra, ditinggal sendiran ketika sudah merasa nyaman bekerja berdampingan dengannya, ketika kami sudah semakin dekat dan akrab. Tapi roda hidup harus terus berputar, aku harus terus berjalan. Pemilik villa bilang, dia akan mencari satu orang pekerja lagi untuk menggantikan posisi Pak Hendra, jadi aku gak akan dibiarkan lama.
orang baru datang, aku terpaksa harus bekerja sendiran, harus tinggal di villa sendirian. Eh bentar, tinggal dan kerja di Villa sendirian? Hmmm, ternyata gak juga. Kenapa begitu? Karena aku sering merasakan kalau almarhum Pak Hendra dan Istrinya masih ada di sini, masih di villa ini. Dalam artian sesungguhnya, aku merasa kalau mereka masih tinggal di sini..
Tok, tok, tok..
"lya Pak," Aku menjawab ketukan di pintu kamar, masih sangat mengantuk karena kurang tidur malam sebelumnya lalu aku menjawab "lya pak ." Mengucek-ngucek mata sebentar, melirik jam dinding, sudah hampir jam lima subuh, memang sudah waktunya bangun dan sholat. Beranjak dari tempat tidur lalu aku berjalan menuju pintu untuk keluar kamar. Setelah pintu kamar sudah terbuka, aku bisa melihat isi ruang tengah, di situ Pak Hendra sedang berdiri melaksanakan sholat subuh. Seperti biasa, dia mengenakan baju koko kesayangannya dan sarung berwarna gelap lengkap dengan kopiah putih di kepala. "Ah pak Hendra sudah mulai duluan ternyata." Begitu
Next-->